Tujuan dan Urgensi belajar Ushul Fiqh
Tujuan dan Urgensi belajar Ushul Fiqh
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Ubaidillah, H, MSi

Tri Sugiharti (2021114021)
Anas Fuadi (2021115350)
M. Syafiqur Rahman (2021115357)
Kelas C
JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
PEKALONGAN
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Setiap manusia pastilah
membutuhkan interaksi dengan orang lain, baik dalam urusan umum atau keagamaan.
Manusia tidak dapat terlepas dari hal ini karena manusia adalah makhluk sosial,
dan bukanlah makhluk individu yang dapat hidup sendirian tanpa membutuhkan
orang lain. Di saat berhubungan dengan orang lain itu, ada aturan-aturan yang
harus dilakukan dan dijaga agar hubungan dengan orang lain itu terjaga
kebaikannya.
Selain berhubungan dengan orang
lain, pastilah berhubungan juga dengan Tuhan melalui ibadah yang dilakukan
setiap hari dan menggambarkan bahwa yang menjadi objek
kajian para ulama Ushul Fiqh adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global)
seperti kehujjahan ijma’ dan qiyas. Ushul Fiqh juga membahas bagaimana cara
mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil,
seperti kaidah mendahulukan hadits mutawatir dari hadits ahad dan
mendahulukan nash dari zhahir. Dari definisi di atas, terlihat jelas bahwa yang
menjadi objek kajian Ushul Fiqh secara garis besarnya ada tiga: Sumber hukum
dengan semua seluk beluknya. Metode pendaya gunaan
sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya. Persyaratan orang yang berwewenang
melakukan istinbath dengan semua permasalahannya. Tujuan yang hendak dicapai
dari ilmu Ushul Fiqh adalah ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap
dalil-dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang
bersifat ‘amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Islam dalam hal ini telah diatur semuanya dalam ilmu Fiqh dengan segala
ketentuannya yang berlaku. Pada makalah ini, pemakalah akan membahas ilmu Ushul
Fiqh tentang tujuan dan urgensi mempelajari Ushul Fiqh.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tujuan
Mempelajari Ushul Fiqh
Secara umum tujuan Ushul Fiqh adalah untuk
mengetahui dalil-dalil penetapan hukum syara’ tentang perbuatan orang mukallaf,
seperti hukum wajib, haram, mubah, sah atau tidaknya sesuatu perbuatan dan
lain-lain.[1]
Menurut Prof.
Dr. Amir Syarifudin, tujuan yang hendak dicapai dari ilmu Ushul Fiqh ialah
untuk dapat menetapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci
agar sampai kepada hukum-hukum
syara’ yang bersifat
amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu, dalam kaidah Ushul serta bahasanya
itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum yang terkandung di dalamnya.
Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan
ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan itu.
Memang dengan metode tersebut para ulama telah
berhasil merumuskan hukum
syara’ dan teah terjabar secar rinci dalam kitab-kitab Fiqh. Lantas untuk apa
lagi Ushul Fiqh bagi umat yang akan datang
kemudian? Dalam hal ini
ada dua maksud mengetahui Ushul Fiqh :
1.
Bila kita telah mengetahui metode Ushul Fiqh yang
dirumuskan ulama terdahulu, maka bila suatu ketika kita menghadapi kitab-kitab Fiqh
terdahulu, maka kita akan mencari kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu.
2. Bila kita
menghadapi masalah hukum Fiqh yang terurai dalam kitab-kitab Fiqh, tetapi
mengalami kesukaran dalam penerapannya, karena sudah begitu jauh perubahan yang
terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqoha lama itu dan ingin
merumuskan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan tuntutan kondisi yang
menghendakinya, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah baru
yang memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam Fiqh. Kaji ulang terhadap suatu
kaidah atau menentukan kaidah batu itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak
mengetahui secara baik usaha dan cara ulama lama dalam merumuskan kaidahnya. Hal
ini akan di ketahui secara baik dalam ilmu Ushul Fiqh.[2]
Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa Ushul
Fiqh merupakan salah satu sarana untuk
mendapatkan hukum-hukum
Allah sebagaimana yang di kehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya, bahkan yang
berkaitan dengan
masalah akikah, ibadah, mua’malah, maupun akhlak. Dengan kata lain, Ushul Fiqh
bukanlah sebagai tujuan melainkan hanya sebagai metode, sarana atau alat. Sebagai contoh dalam hal ini penetapan hukum asal dari
larangan itu hukumnya haram, yang terdapat pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat
168 :
يَٰآ يُّـهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِي الأّرْضِ حَلٰلاً
طَيِّـبًا وَلاَ تَتـَّبِعُوْا خُطُوَاتِ الشَّيْطٰنِ قلى اِنَّه لَكُـمْ
عَدُوٌّ مُّـبِيْنٌ ﴿ البقرة﴾
Artinya :
“hai sekalian manusia, makanlah
yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah setan. Karena sesungguhnya setan itu adalah musuh
yang nyata bagimu.”
Ayat diatas adalah
perintah yang hukumnya wajib bagi seluruh umat Islam untuk memakan harta yang
halal dan bergizi. Lalu, pada ayat tersebut terdapat kalimat yang artinya “Dan
janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan”. Kalimat itu adalah
larangan maka haram hukumnya bagi orang yang beriman mengikuti pola hidup
dengan sistem yang dibentuk dan dibangun oleh setan. Kaitannya dengan makanan
yang dimaksud dengan pola hidup setan adalah menikmati harta benda hasil
korupsi, manipulasi, menipu, merampok, dan bentuk kejahatan lainnya.[3]
Sedangkan
contoh yang ada pada hadis Nabi Muhammad SAW. Ialah kaitannya dengan perintah
shalat, sebagaimana sabda Beliau :
فُرِضَتِ الصَّلاَةُ عَلَى النَّبِيِّ ص. م. لَيْلَةَ
اُسْرِيَ بِهِ خَمْسِيْنَ ثُـمَّ نُـقِصَتْ حَتَّى جُعِلَتْ خَمْسًا ثُـمَّ
نُوْدِيَ , يَا مُحَمَّدُ , اِنَهُ لاَ يُـبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ , وَاِنَّ
لَكَ بِـهٰذِهِ الخَمْسِ خَمْسِيْنَ ﴿ رواه احمد والنسائى والترمذى وصحـحه﴾
Artinya :
“Telah difardhukan shalat kepada Nabi SAW.
Pada malam Isra’ sebanyak lima puluh kali, kemudian dikurangi hingga lima kali,
kemudian Nabi SAW. Dipanggil, “Hai Muhammad, keputusan-Ku tidak dapat diganggu
gugat, dan dengan shalat lima waktu ini, engkau tetap memperoleh pahala
sebanyak lima puluh kali.” (HR. Ahmad, Imam An-Nasa’i, Imam Tirmidzi dan dinyatakan
hadis ini shahih)
Dengan hadis tersebut, asal dari hukum wajib itu adalah perintah dari Allah
tentang shalat lima waktu, yang didapat oleh Nabi SAW pada perjalanan malam
Isra’. Kaitannya dengan shalat lima waktu, Al-Qur’an menjelaskan dalam surat
Al-Isra ayat 78 :
اَقِمِ الصَّلٰوةَ لِدُ لُوْكِ الشَّمْسِ اِلٰى غَشَقِ
الَّيْلِ وَقُرْاٰنِ الْفَجْرِ ج اِنَّ
قُرْاٰنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوْدًا ﴿ الاسراء﴾
Artinya :
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari
tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya
shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”
Pada ayat diatas terdapat kata aqim yang merupakan fi’il amar,
maka kaidah Ushul Fiqhnya pun sama dengan kata furidha (fardhu), yaitu kata
kerja perintah. Ayat tersebut menetapkan kewajiban shalat ketika matahari
tergelincir, yakni dhuhur dan ashar, kemudian shalat ketika matahari terbenam
menuju gelap, yakni maghrib dan isya’, serta shalat fajar yakni shalat subuh.
Demikian yang dimaksud shalat wajib lima waktu yang telah diperintahkan oleh
Allah kepada Nabi SAW. dan seluruh umatnya.[4]
Ushul Fiqh berguna
untuk mengeluarkan ketentuan atau ketetapan hukum dari sumber hukum Islam,
yakni Al-Qur’an, melalui penerapan kaidah-kaidah Ushul yang berlaku. Dengan
memahami Ushul Fiqh dan penerapannya, orang Islam akan terhindar dari sikap
taklid dan fanatisme madzhab. Ushul Fiqh adalah metode istinbat hukum yang
berguna untuk mengeluarkan dalil-dalil bagi perbuatan mukallaf dan menetapkan
hukumnya melaksanakan suatu perintah yang bersangkutan.
Syeikh Khudari Beikh
dalam kitabnya mengemukakan fungsi dari ilmu Ushul Fiqh sebagai berikut:
1. Mengemukakan
syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara’ secara tepat.
2. Sebagai
acuan dalam menentukan dan menetapkan hukum
syara’ memalui berbagai metode yang dikembangkan oleh para mujtahid, sehingga
dapat memecahkan berbagai persoalan baru yang muncul.
3. Memelihara
agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan sumber dan dalil hukum. Ushul Fiqh menjadi tolak ukur
validitas kebenaran sebuah ijtihad,
4. Mengetahui
keunggulan dan kelemahan para mujtahid, dilihat dari dalil yang mereka gunakan.[5]
B.
Manfaat
Mempelajari Ushul Fiqh
Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa Ushul Fiqh
merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaimana
yang telah dikehendaki-Nya dan Rasul-Nya, baik yang berkaitan dengan aqidah,
ibadah, muamalah, uqubah (hukuman), maupun akhlak.[6] Ushul Fiqh berkisar pada kegiatan itsbat
(menetapkan). Manfaat Ushul Fiqh bagi seorang mujtahid adalah pedoman dalam
menentukan/menetapkan sesuatu hukum Allah berdasarkan dalil yang ia dapatkan,
sedangkan bagi seorang muttabi’ untuk mengetahui atau mencari dasar hukum
syara’ yang ia dapatkan dan ia ikuti. Jadi, manfaat dari Ushul Fiqh adalah
mendidik seseorang agar memahami hukum
yang ia terima berdasarkan, sehingga ia tidak terlalu bergantung pada pemahaman
orang lain yang ia tidak ketahui dasarnya (taklid). Kebutuhan Ushul Fiqh
senantiasa tidak pernah padam, karena masyarakat selalu bergerak dinamis
terutama atas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga seakan
hukum Islam itu senantiasa berpacu dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Banyak persoalan-persoalan yang
senantiasa muncul yang perlu ditetapkan status hukumnya, yang hal itu belum
secara tegas dihukumi pada masa-masa yang telah berlalu.[7]
Berikut adalah manfaat belajar Ushul Fiqh :
1. Memunginkan
untuk mengetahui dasar-dasar para mujtahid terdahulu dalam membentuk dasar Fiqhnya.
2. Seseorang
akan memperoleh kemampuan untuk memahami ayat-ayat hukum dalam Al-Quran dan
hadits-hadits hukum dalam sunnah Rasulullah, kemudian mengistinbatkan dari
kedua sumber hukum tersebut.
3. Seseorang
akan mampu secara benar dan lebih baik melakukakan studi komparatif antar
pendapat ulama Fiqh dari berbagai madzhab, sebab Ushul Fiqh merupakan azas dari
ilmu Fiqh.
4. Memelihara
agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan sumber dan dalil hukum. Ushul Fiqh
menjadi tolok ukur validitas kebenaran sebuah ijtihad.[8]
Maka
manfaat Ushul Fiqh bagi para mujtahid adalah menjadi pedoman dalam menentukan
atau menetapkan sesuatu hukum
syara’ berdasarkan dalil yang ia
dapatkan, sedangkan bagi seorang muttabi’ karena ia mengetahui dasar hukum dari suatu amal yang ia kerjakan
atau yang ia ikuti maka ia terhindar dari perbuatan taklid, yakni mengikuti pendapat orang lain
tanpa mengetahui dasar hukumnya, sebab orang taqlid itu ikut orang lain hanya karena
pokoknya ikut tanpa berusaha mengetahui dasar apa yang ia ikuti itu.
Oleh
karena itu, Ushul Fiqh sangat berfaedah yakni bagi seorang mujtahid sebagai
alat untuk menetapkan sesuatu hukum
syara’, sedangkan bagi seorang
Muttabi’ sangat berfaedah untuk mengetahui atau mencari dasar sesuatu hukum syara’ yang ia dapatkan dan ia
ikuti. Jadi tujuan utama Ushul Fiqh adalah mendidik seseorang agar memahami hukum yang ia terima itu berdasarkan dalil syar’i, sehingga ia tidak terlalu
menggantungkan diri pada pemahaman orang lain yang tidak ia ketahui asalnya atau bahkan bertaklid buta. Dengan
demikian ia dapat
mengikuti orang lain dengan
mengetahui dasar-dasar hukumnya bukan hanya sekedar pokoknya ikut.
Bagi
mahasiswa dan sarjana agama yang berstatus sebagai cendikiawan, tentunya ia
tidaklah mungkin beramal berdasarkan taklid belaka, seorang akademisi adalah
cendikiawan yang rasional, artinya ia senantiasa berfikir kritis sebelum
melakukan sesuatu amal perbuatan, maka ia tentu tidak akan memposisikan diri
sebagai mukalid,
apalagi taklid
buta, setidak-tidaknya seorang cendikiawan itu menduduki dan memposisikan
statusnya sebagai seorang muttabi’.
Kebutuhan terhadap Ushul
Fiqh ini senantiasa tidak pernah padam, karena masyarakat senantiasa bergerak
dinamis terutama atas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga hukum Islam itu senatiasa berpacu dengan perkembangan
ilmu dan teknologi,
banyak pesoalan-persoalan yang senantiasa muncul yang perlu ditetapkan status
hukumnya, yang hal itu belum secara tegas dihukumi pada masa-masa yang telah berlalu.
Misalnya masalah transplatasi organ tubuh manusia, cloning, qasar shalat karena waktu tempuh dan lain
sebagainya.[9]
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Secara umum tujuan Ushul Fiqh adalah untuk
mengetahui dalil-dalil penetapan hukum syara’ tentang perbuatan orang mukallaf,
seperti hukum wajib, haram, mubah, sah atau tidaknya sesuatu perbuatan dan
lain-lain dan berikut bebebrapa manfaat belajar Ushul Fiqh :
1. Memunginkan
untuk mengetahui dasar-dasar para mujtahid terdahulu dalam membentuk dasar
fikihnya.
2. Seseorang
akan memperoleh kemampuan untuk memahami ayat-ayat hukum dalam Al-Quran dan
hadits-hadits hukum dalam sunnah Rasulullah, kemudian mengistinbatkan dari
kedua sumber hukum tersebut.
3. Seseorang
akan mampu secara benar dan lebih baik melakukakan studi komparatif antar
pendapat ulama Fiqh dari berbagai madzhab, sebab Ushul Fiqh merupakan azas dari
ilmu Fiqh.
4. Memelihara
agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan sumber dan dalil hukum. Ushul Fiqh
menjadi tolok ukur validitas kebenaran sebuah ijtihad.
B. Kritik
dan Saran
Semoga makalah
ini dapat menambah pengetahuan teman-teman
semua dalam memahami Ushul Fiqh, dan masih banyak terdapat kesalahan ataupun kekeliruan dalam
pembuatan makalah ini, kritik dan saran sangat kami harapkan untuk kesempurnaan
makalah yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Amiruddin, Zen.2009,Ushul Fiqh; Yogyakarta; Sukses
Effendi, Satria.2005,Ushul Fiqh; Jakarta; Prenada Media
Saebani, Beni Ahmad
dan Januri, 2009, Fiqh “Ushul Fiqh”; Bandung : Pustaka Setia
Saebani, Beni
Ahmad, 2009, Ilmu Ushul Fiqh; Bandung : Pustaka Setia
Mardani, 2013,
Ushul Fiqh, Jakarta; Rajawali Pers
Rohayana, ade dedi.2005, Ilmu Ushul Fiqh, Pekalongan; STAIN Pekalongan Press
http://www.budhii.web.id/2012/07/manfaat-dalam-mempelajari-ilmu-Fiqh.html.
. diakses 16 September 2016 Pukul
19:43 WIB.
http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/Ushul-Fiqh/allsub/136/kegunaan-mempelajari-ilmu-Ushul-Fiqh.html. diakses
16 September 2016 Pukul 19:43 WIB.
http://sarjanaspdi.blogspot.co.id/2012/11/objek-pembahasan-dan-tujuan-mempelajari.html
diakses 16 September 2016 Pukul 19:43 WIB.
[1]http://sarjanaspdi.blogspot.co.id/2012/11/objek-pembahasan-dan-tujuan-mempelajari.htmldiakses
16 September 2016 Pukul 19:43 WIB.
[2]
Mardani, ushul fiqh, (Jakarta; rajawali pers,
2013) hlm 15-16
[3]
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh,
(Bnadung, CV. Pustaka Setia, 2009) hlm 30-31
[4]
Beni Ahmad Saebani dan Januri, Fiqh
“Ushul Fiqh”, (Bandung; CV. Pustaka Setia. 2009) hlm 102
[5]
Ade dedi rohayana, Ilmu Ushul Fiqih, (Pekalongan; stain pekalongan pres 2005)
hlm 14
[6]http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/ushul-fiqih/allsub/136/kegunaan-mempelajari-ilmu-ushul-fiqh.html. diakses 16 September 2016 Pukul 19:43
WIB.
[7]
Satria Effendi, Ushul Fiqih;
(Jakarta; Prenada Media, 2005) hal 15
[8]http://www.budhii.web.id/2012/07/manfaat-dalam-mempelajari-ilmu-fiqh.html.
. diakses 16 September 2016 Pukul
19:43 WIB.
[9]
Zen Amiruddin, Ushul Fiqih;
(Yogyakarta; Sukses, 2009) hal 12-14
Komentar
Posting Komentar