Makalah Tafsir Tarbawi II
PENDIDIKAN MENTAL
Disusun guna memenuhi
tugas
Mata Kuliah : Tafsir Tarbawi II
Dosen Pengampu : M. Rodli, M.Pd. I

Ahmad Ghozali (202
111 5341)
M. Syafiqur Rahman (202
111 5357)
Sabila Dina (202
111 5383)
Kelas: G
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PEKALONGAN
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Ibadah
adalah tindakan untuk mematuhi perintah dan menjauhi larangan Allah dengan kata
lain ibadah ialah suatu orientasi dari kehidupan dan orientasi tersebut tertuju
kepada (Allah) saja.
Manusia
di ciptakan oleh tuhan dan hanya berorientasi kepada penciptanya yaitu Allah,
sang pencipta yang menumbuhkan dan mengembangkan manusia, Dia yang memelihara,
menjaga dan mendidik manusia, Dia pula yang memberi petunjuk kepada manusia,
oleh karena itu hanya kepada Dia manusia menyembah.
Terkait
dengan masalah ibadah, terdapat beberapa golongan hamba Allah yang sama – sama
mengaku sebagai seorang hamba yang taat beribadah.mereka memiliki berbagai
pengertian yang berbeda dalam memahami apa hakikat dari ibadah.diantaranya ada
golongan yang berpendapat bahwa ibadah iatu adalah sikap taat dan ketertundukan
seorang hamba kepada sang kholiq nya dalam rangka ta’abbud kepadanya. akan
tetapi mereka kurang memperhatikan hal-hal kecil di luar itu yang terkait
dengan ibadah sosial, pergaulan ataupun sikap toleransi dalam setiap situasi.
Adapula
yang berpendapat bahwa dalam ibadah yang menjadi titik tekan adalah bagaimana
seorang hamba bersungguh-sungguh tatkala mengerjakan sesuatu , dan sesuatu
tersebut bernilai ibadah apabila ia tulus. Akan tetapi mereka setiap kali
menyepelekan ibadah mahdhoh, seperti sholat, puasa, dan lain – lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Surat al-Luqman ayat 17-19
¢Óo_ç6»t
ÉOÏ%r&
no4qn=¢Á9$#
öãBù&ur
Å$rã÷èyJø9$$Î/
tm÷R$#ur
Ç`tã
Ìs3ZßJø9$#
÷É9ô¹$#ur
4n?tã
!$tB
y7t/$|¹r&
(
¨bÎ)
y7Ï9ºs
ô`ÏB
ÇP÷tã
ÍqãBW{$#
ÇÊÐÈ wur
öÏiè|Áè?
£s{
Ĩ$¨Z=Ï9
wur
Ä·ôJs?
Îû
ÇÚöF{$#
$·mttB
(
¨bÎ)
©!$#
w
=Ïtä
¨@ä.
5A$tFøèC
9qãsù
ÇÊÑÈ ôÅÁø%$#ur
Îû
Íô±tB
ôÙàÒøî$#ur
`ÏB
y7Ï?öq|¹
4
¨bÎ)
ts3Rr&
ÏNºuqô¹F{$#
ßNöq|Ás9
ÎÏJptø:$#
ÇÊÒÈ
Artinya:
Wahai anakku! dirikanlah sembahyang dan
menyuruhlah berbuat yang ma’ruf dan mencegah berbuat yang munkar dan sabarlah
atas apa pun yang menimpa engkau. Sesungguhnya
yang demikian itu adalah termasuk yang sepenting-penting pekerjaan.
Dan janganlah engkau palingkan muka engkau
dari manusia dan janganlah berjalan di muka bumi dengan congkak. Sesungguhnya
Allah tidaklah menyukai tiap-tiap yang sombong membanggakan diri.
Dan sederhanalah dalam berjalan dan lunakkanlah suara. Sesungguhnya
yang seburuk-buruk suara ialah suara keledai.[1]
B.
Asbabun Nuzul
Ayat 17
Ketika ayat ke-82 dari
surat al-An’am diturunkan para sahabat merasa keberatan. Maka mereka datang
menghadap Rasulullah saw, seraya berkata “ Wahai Rasulullah, siapakah diantara
kami yang dapat membersuhkan keimanannya dari perbuatan zalim?”. Jawab beliau “
Bukan begitu, bukanlah kamu telah mendegarkan wasiat Luqman Hakim kepada
anaknya: Hai anakku, janganlah kamu mempersukutukan Allah, Sesungguhnya
mempersukutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar. (H.R. Bukhari
dari Abdillah)[2]
Surat al-Luqman adalah termasuk surat Makkiyah, terdiri dari 34
ayat, surat ini diturunkan setelah surat Ash-Shaffat.
Luqman adalah seorang yang sholeh dan memiliki akhlaq yang mulia,
yaitu akhlak yang berbasiskan kepada keimanan yang kokoh. Namanya diabadikan oleh
Allah dalam salah satu surat dalam al-Qur’an yakni surat ke 31.
Sehingga didalam surat ini Allah memberikan pelajaran kepada kita
akan kesholehan Luqman dalam memberikan nasehat kepada anaknya, yakni nasehat
yang menggandung unsur “keilmuan” yang mendalam, “keikhlasan” yang suci dan
“kecintaan” yang tinggi. Luqman adalah sosok ayah pilihan Allah. Nasehat yang
disampaikan pada anaknya diabadikan dalam al-Qur’an.
C.
Penjelasan
1.
Tafsir al-Azhar
Kemudian Luqman meneruskan wasiatnya:”Wahai
anakku! dirikanlah sembahyang,dan menyuruhlah berbuat yang ma’ruf,dan
mencegahlah berbuat yang munkar dan sabarlah atas apa pun yang menimpa
engkau” (pangkal ayat 17)
Inilah empat modal hidup diberikan Luqman kepada anaknya dan
dibawakan menjadi modal pula bagi kita semua,disampaikan oleh Muhammad kepada umatnya.
Untuk memperkuat pribadi dan meneguhkan hubungan dengan Allah,untuk
memperdalam rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat dan perlindungannya yang
selalu kita terima,dirikanlah sembahyang. Dengan sembahyang kita melatih lidah,hati
dan seluruh anggota badan selalu ingat kepada Tuhan. Dalam agama kita Islam telah ditentukan bahwa wajib kita
mengerjakan sembahyang itu sekurang-kurangnya lima kali sehari semalam jangan
kurang! lebih boleh!
Sudah jelaslah bahwa sembahyang berjamaah adalah 27 kali pahalanya
dari pada sembahyang sendiri. Bahkan di antara Ulama, sebagai Imam Ahmad bin
Hanbal, mengatakan bahwa sembahyang wajib berjama’ah, walaupun hanya dua orang.
Menurut Imam Abu Hanifah, jiran masjid sembahyangnya hendaklah di masjid.
Hikmatnya ialah agar peribadi jangan lepas dari masyarakat. Islam adalah agama
untuk diri dan masyarakat atau pun untuk diri dalam masyarakat. Maka apabila
peribadi telah kuat karena ibadat, terutama tiang agama, yaitu sembahyang
lakukanlah tugas selanjutnya, yaitu berani menyuruh berbuat yang ma’ruf.
“Dan janganlah engkau palingkan muka engkau
dari manusia.” (pangkal ayat 18). Ini adalah termasuk budi pekerti, sopan
santun dan akhlak yang tertinggi. Yaitu kalau sedang bercakap berhadap-hadapan
dengan seseorang hadapkanlah muka engkau kepadanya. menghadapkan muka adalah
alamat dari menghadapkan hati. dengarkanlah dia bercakap, simaklah baik-baik.
kalau engkau bercakap dengan seseorang, padahal mukamu engkau hadapakan ke
jurusan lain, akan tersinggunglah perasaannya. Dirinya tidak di hargai,
pekataannya tidak sempurna di dengarkan.
Ibnu Abbas menjelaskan tafsir ayat ini: “
jangan takabur dan memandang hina hamba Allah, dan jangan engkau palingkan muka
engkau ke tempat lain ketika bercakap dengan dia”.
“Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan
congkak.” Mengangakat diri, sombong, mentang-mentang kaya, mentang-mentang
gagah, mentang-mentang di anggap orang jago, mentang-mentang berpangkat dan sebagainya.
“ Sesungguhnya Allah tidaklah menyukai tiap-tiap yang sombong membanggakan
diri.
Sebuah hadist
marfu’ di terima oleh Alqamah dari Abdullah bin Mas’ud:
لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذرَّةٍ مِنْ
كِبْرٍ, وَلاَ يَدْخُلُ النَّارَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ
اِيْمَانٍ.
“Tidaklah masuk ke dalam surga barang siapa
yang ada dalam hatinya sebesar zarrah dari ketabarukan, dan tidaklah masuk ke
dalam neraka barang siapa yang ada dalam hatinya sebesar zarrah dari Iman.”
“Dan sederhanakanlah dalam berjalan.” (pangkal
ayat 19). Jangan cepat mendorong-dorong, takut kalau-kalau lekas payah. Jangan
lambat tertegun-tegun, sebab itu membawa malas dan membuang waktu di jalan,
bersikaplah sederhana. “Dan lunakanlah suara.” Jangan bersuara keras tidak
sepadan dengan yang hadir. Apa lagi jika bergaul dengan orang lain di tempat
umum. Orang yang tidak tahu sopan santun lupa bahwa tempat itu bukanlah dia
berdua dengan temannya sja yang duduk. Lalu dia bersuara keras-keras.
“Sesungguhnya yang seburuk-buruk suara, ialah suara keledai.”
Mujahid berkata: “Memang suara keledai itu
jelek sekali. Maka orang uyang bersuara keras, menghardik-hardik, sampai
seperti akan pecah kerongkongannya, suaranya jadi terbalik, menyerupai suara keledai,
tidak enak di dengar. Dan dia pun tidak disukai oleh Allah.
Sebab itu tidak ada salahnya jika orang
bercakap lemah lembut, dikeraskan hanyalah ketika dipakai hendak mengerahkan
orang banyak kepada suatu pekerjaan
besar. Atau seumpama
seorang komandan peperangan mengerahkan prajuritnya tampil ke medan perang.[3]
2.
Tafsir Al-Mishbah
Ayat 17
Kata (صبر)shabr terambil dari akar kata yang terdidri dari huruf-huruf shad, ba’,
dan ra. Maksudnya berkisar pada pada tiga hal:
1)
menahan
2)
ketinggian sesuatu
3)
sejenis batu
Dari makna menahan, lahir makna
konsisten/bertahan, karena yang bersabar bertahan menahan diri pada satu sikap.
Seseirang yang menahan gejolak hatinya , dinamai bersabar. Yang ditahan di
penjara sampai mati dinamai masbhburah. Dari makna kedua, lahir kata shubr,
yang berarti puncak sesuatu. Dari makna ketiga, muncul kata ash-shubrah, yakni
batu yang kukuh lagi kasar, atau potongan besi.
Ketiga makna tersebut dapat kait-terkait,
apalagi pelakunya manusia. Seorang yang sabar, akan menahan diri, dan untuk itu
memerlukan kekukuhan jiwa, dan mental baja, agar dapat mencapai ketinggian yang
diharapkannya. Sabar adalah menahan gejolak nafsu demi mencapai yang baik atau
yang terbaik.
Kata (عزم) ‘azm dari segi bahasa berarti keteguhan hati dan
tekad untuk melakukan sesuatu.Kata ini berpatron mashdar, tetapi
maksudnya adalah objek, seningga makna pengalan ayat ituadalah shalat, amr
ma’ruf dan nahi munkar serta kesabaran merupakan hal-hal yang telah
diwajibkan oleh Allah untuk dibulatkan atasnya tekad manusia. Thabathaba’i
tidak itu, karena meurutnya kesabaran
telah masuk dalam bagian ‘azm.[4]
Ayat 18-19
Kata (تصعر) tusha’ir trambil dari kata (الصعر) ash-sha’ar yaitu penyakit yang menimpa unta dan
menjadikan lehernya keseleo, sehingga ia memaksakan dia dan berupaya keras agar
berpaling sehingga tekanan tidak tertuju kepada syaraf lehernya yang
mengakibatkan rasa sakit. Inilah ayat diatas menggambarkan upaya keras dari
seseorang untuk bersikap angkuh dan menghina orang lain. Pada keenggangan
melihat siapa yang dihina.
Kata ( فى الارض)fi al-ardh/ di bumi disebut oleh ayat
diatas,untuk mengisyaratkan bahwa asal kejadian manusia dari tanah,sehingga dia
hendaknya jangan menyombongkan diri dan melangkah angkuh di tempat itu.
Demikian kesan al-Biqa’i. Sedang Ibn Asyur memperoleh kesan bahwa bumi adalah
tempat berjalan semua orang, yang kuat dan yang lemah, yang kaya dan yang
miskin, penguasa dan rakyat jelata. Mereka semua sama sehingga tidak wajar bagi
pejalan yang sama,menyombongkan diri dari merasa melebihi orang lain.
Kata (مختالا ) mukhtalan terambil dari akar kata yang sama dengan (خيالا )Khayal/khayal.
Karena kata ini pada mulanya berarti orang yang tingkah lakunya diarahkan oleh
khayalan,bukan oleh kenyataan yang ada pada dirinya. Biasanya orang semacam ini
berjalan angkuh dan merasa dirinya memiliki kelebihan dibandingkan dengan orang
lain. Dengan demikian,keangkuhan tampak secara nyata dalam kesehariannya. Kuda
dinamai (خيل) khail karena cara jalannya
mengesankan keangkuhan. Seorang yang mukhtal membanggakan apa yang
dimilikinya,bahkan tidak jarang membanggakan apa yang pada hakikatnya tidak ia
miliki. Dan inilah yang ditunjuk oleh kata (فخوار ) fakhuran,yakni
seringkali membanggakan diri. Memang kedua kata ini yakni mukhtal dan fakhurmengandung makna kesombongan, kata
yang pertama bermakna kesombongan yang terlihat dalam tingkah laku,sedng yang
ke dua adalah kesombongan yang terdengar dari ucapan-ucapan.
Kata (اغضض )ughdhudh terambil
dari kata (غضّ) ghadhdh dalam arti
penggunaan sesuatu tidak dalam potensinya yang sempurna. Mata dapat
memandang ke kiri dan ke kanan secara bebas. Perintah ghadhdh jika di tujukan kepada mata maka kemampuan itu
hendaknya dibatasi dan tidak digunakan secara maksimal. Demikian juga suara. Dengan
perintah diatas, seseorang diminta untuk berteriak sekuat kemampuannya,tetapi
dengan suara perlahan namun tidak harus berbisik.[5]
3.
Tafsir Ibnu Katsir
Berkata Luqman: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan laksankannya tepat pada
waktunya sesuai dengan ketentuan-ketentuannya, syarat-syaratnya dan
rukun-rukunnya, lakukanlah amar ma’ruf nahi munkar sekuat tenagamu dan
bersabarlah atas gangguan dan rintangan yang engkau hadapi selagi engkau
melaksanakan tugas amar ma’ruf nahi munkar. Dan janganlah engkau memalingkan
mukamu dari manusia karena sombong dan memandang rendah orang yang berada
didepanmu dan janganlah engkau berjalan di muka bumi Allah dengan angkuh,
karena Allah sekali-kali tidak menyukaiorang yang sombong dan membanggakan
diri. Dan hendaklah engkau berlaku sederhana kalau berjalan, jangan telampau
cepat dan buru-buru dan jangan pula terlampau lamban bermalas-malasan, demikian
ula bila engkau berbicara lunakan suaramu dan janganlah berteriak-teriak tanpa
ada perlunya, karena seburuk-buruknya suara adalah suara keledai.
Tentang sifat
sombong yang tercela itu berfirmanlah Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 37:
وَلاَ تَمْشِ فِى الأَرْضِ مَرَحًا اِنَّكَ لَنْ
تَخْرِقَ اْلاَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ اْلجِبَالَ طُوْلاً.
Artinya: Dan janganlah engkau berjalan di muka
bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau sekali-kali tidak dapat
menembus bumi dan sekali-kali engkau tidak akan dapat sampai setinggi gunung.”
Dan tentang suara keledai, bersabdalah Rasulullah saw menurut riwayat Annasai
dari Abu Hurairah:
اِذَا سَمِعْتُمْ صِيَاحَ الدِّ يْكَةِ
فَاسْأَلُوْا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ وَاِذَا سَمِعْتُمْ نَهِيْقَ الحَمِيْرِ
فَتَعَوَّذُوْا بِا للَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهَا رَاَتْ شَيْطَانًا.
Artinya: “Apabila kamu mendengar ayam berkaok,
mohonlah karunia dari Tuhan dan apabila kamu mendengar suara keledai, maka
mohonlah perlindunganAllah dari syaitan, karena suara keledai itu menandakan
bahwa ia melihat syaitan”.[6]
D.
Pendidikan Mental
Pendidikan
berasal dari kata "didik", Lalu kata ini mendapat awalan kata "me"
sehingga menjadi "mendidik" artinya memelihara dan memberi
latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran,
tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Pendidikan adalah usaha sadar yang
dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah
sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan
dalam berbagai lingkungan kehidupan secara tepat di masa yang akan datang.
Pendidikan adalah pengalaman-pengalaman belajar terprogram dalam bentuk
pendidikan formal, nonformal, dan informal di sekolah, dan di luar sekolah,
yang berlangsung seumur hidup yang bertujuan optimalisasi pertimbangan kemampuan-kemampuan
individu, agar di kemudian hari dapat memainkan peranan hidup secara tepat.
Berdasarkan definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan mental adalah suatu usaha
sadar yang dilakukan untuk memelihara, melatih, membimbing, dan mengarahkan
batin dan watak manusia (mental) yang lebih baik supaya menjadi manusia
seutuhnya.
Pembinaan mental melalui agama yaitu
dengan cara menanamkan keimanan dan ketakwaan, pembinaan mental melalui pribadi
dengan cara mengendalikan emosi, motivasi, berfikir positif, dan mengembangkan
potensi diri, sedangkan pembinaan mental melalui lingkungan dengan cara
memahami situasi keadaan masyarakat, mengambil nilai-nilai positif dalam
keluarga dan masyarakat,dari ketiga aspek itu adanya keterkaitan antara yang
satu dan yang lainnya sehingga apabila yang satu tidak terpenuhi maka yang
lainnya juga tidak akan maksimal.[7]
E. Aspek Tarbawi
1.
Perintah melaksanakan sholat tepat pada
waktunya.
2.
Berbuatlah amar ma’ruf dan cegahlah
kemungkaran.
3.
bersikap sopan santunlah kepada semua manusia.
4.
Jauhilah sifat angkuh di muka bumi.
5.
Sederhankanlah dalam berjalan .
6.
Lunakanlah suaramu dalam berbicara.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam al-Qur’an surat Luqman ayat 17 menerangkan mengenai kewajiban mengerjakan
sholat karena sholat merupakan hal yang utama serta diwajibkan untuk
mengerjakan yang baik serta mencegah dari perbuatan yang munkar dan diserukan
untuk bersabar ketika menghadapi sesuatu yang menimpa dirinya(anak Luqman) dan
dari ketika tersebut diatas maka dapat di tarik kesimpulan bahwasanya itu
adalah wajib untuk dilaksanakan.
Pendidikan mental didalam QS. Lukman ayat 17-19 sangat relevan bagi dunia
pendidikan modern saat ini karena Dengan mengajari anak akhlak yang mulia atau
yang terpuji bukan hanya semata untuk mengetahuinya saja, melainkan untuk
mempengaruhi jiwa sang anak agar supaya beraklak dengan akhlak yang terpuji. Karena
pendidikan agama islam dalam rumah tangga sangat berpengaruh besar dalam rangka
membentuk anak yang berbudi pekerti yang luhur dan memiliki mental yang sehat.
[1] Departemen Agama RI, Mushaf Al-Kamil, (Jakarta Timur: CV Darus
Sunah, 2002), hlm. 413
[2] Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir Al-Maraghi 21, hlm. 153
[3] Hamka, Tafsir Al Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas,1982),
hlm. 126-135
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,(Jakarta: Lentera Hati,
2003), hlm. 137-138
[5] Ibdi., hlm. 139-140
[6]Salim Bahreisy, Said Bahreisy, Terjemah
singkat Tafsir Ibnu Katsier, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990), hlm.
258-259
Komentar
Posting Komentar